WARTALIKA.id – Direktur Keamanan dan Ketertiban Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), Abdul Aris menyebut Pemasyarakatan tidak memberikan ruang gerak bagi pelaku tindak kekerasan, baik bagi petugas maupun Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).
Hal ini disampaikan Abdul Aris seiring penandatanganan naskah perjanjian kerjasama pada Peringatan Hari Anti Penyiksaan Internasional, Senin (27/6).
Abdul Aris menjelaskan hal ini selaras dengan salah satu dari 10 Prinsip Pemasyarakatan. Salah satu contoh prinsip ketiga, yakni memberikan bimbingan (bukan penyiksaan) kepada WBP agar mereka dapat bertobat.
“Berikan kepada mereka pengertian mengenai norma- norma hidup dan kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya,” kata dia, saat menjadi narasumber di acara webinar Penyiksaan Seksual Tindak Pidana dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan).
Abdul Aris juga mengatakan kekerasan seksual diartikan dari berbagai definisi adalah setiap tindakan atau upaya seksual atau tindakan yang ditujukan terhadap seksualitas seseorang, baik fisik maupun non fisik dalam bentuk pemaksaan, atau tidak dikehendaki oleh korban yang berakibat pada kerugian, jatuhnya martabat dan penderitaan seseorang.
Dalam webinar ini juga dipaparkan berbagai kasus pelecehan atau kekerasan atau penyiksaan seksual di Indonesia di mana salah satunya terjadi di penjara.
Pada kesempatan ini, Abdul Aris melihat kondisi terkini Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahahan (Rutan) di Indonesia yang mengalami over kapasitas, sehingga sangat rentan terjadinya kekerasan di dalamnya.
“Dengan kondisi seperti itu, Ditjenpas telah mengeluarkan metode untuk menanganinya yaitu melalui 3+1 Kunci Pemasyarakatan Maju, di mana salah satunya adalah deteksi dini terhadap gangguan keamanan dan ketertiban,” ucapnya.
Selain itu, Pemasyarakatan juga menerapkan sistem penilaian pembinaan narapidana yang dilakukan secara berkala. Sistem ini bertujuan untuk menilai pembinaan narapidana melalui pengamatan perilaku yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka pemenuhan hak narapidana, dan membina narapidana yang sesuai dengan kebutuhan individual.
“Dengan adanya metode-metode ini, Pemasyarakatan optimis ke depannya tindak kekerasan, baik kekerasan seksual maupun fisik, di dalam lapas atau rutan lebih terminimalisir,” ujar dia.
Webinar ini diikuti oleh Komisioner Komnas Perempuan, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Ketua Perkumpulan Jiwa Sehat, Koodinator Divisi Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan jajaran Dinas Sosial Republik Indonesia.