Kota Tua Jakarta: Permata Tersembunyi yang Menjaga Jejak Sejarah
WARTALIKA.id – Kota Tua Jakarta, saksi bisu perjalanan panjang Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, kembali memikat hati para wisatawan. Dengan deretan bangunan bersejarah yang masih berdiri kokoh, kawasan ini menawarkan pengalaman unik untuk menjelajahi masa lalu.
Beberapa diantaranya adalah Museum Fatahillah, Museum Bank Indonesia, Musem Bank Mandiri, Jembatan Kota Intan, Pelabuhan Sunda Kelapa, Menara Syahbandar, dan sebagainya.
Museum Fatahillah, jantung Kota Tua Jakarta, menyimpan ribuan artefak yang menceritakan kisah peradaban Nusantara. Setiap sudut museum seakan membawa pengunjung melakukan perjalanan waktu ke masa lampau.
Nah, mengunjungi tempat-tempat bersejarah tersebut semakin afdol jika wisatawan memahami secara singkat sejarah Kota Tua Jakarta.
wartalika.id merangkum sejarah Kota Tua Jakarta sebagai berikut. Agar mudah memahami sejarah Kota Tua Jakarta, maka kita bisa merunutnya berdasarkan periode pendudukan.
Dalam Sejarah Singkat Kota Jakarta, dari berbagai sumber menyebutkan, bahwa Kota Tua Jakarta juga dikenal sebagai Kota Batavia Lama atau Oud Batavia. Kawasan ini dulunya merupakan pusat pemerintahan Batavia, dengan luas wilayah sekitar 15 hektare.
Tidak jauh dari kawasan Kota Tua Jakarta, terdapat pelabuhan Kerajaan Sunda, yakni Pelabuhan Sunda Kelapa atau Pelabuhan Sunda Kalapa yang berlokasi di muara Sungai CIliwung.
Sementara, ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh selama dua hari perjalanan dari Pelabuhan Sunda Kelapa.
Pada abad ke-12, Pelabuhan Sunda Kelapa dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing dari China, Jepang, India, berlabuh di pelabuhan ini dengan membawa barang dagangan seperti porselen, kopi, sutra, kain, dan sebagainya untuk ditukar dengan rempah-rempah.
Pada 1527, terjadi pendudukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah dari Kesultanan Demak. Nama Jayakarta berarti kemenangan. Oleh sebab itu, Hari Ulang Tahun (HUT) Jakarta ditetapkan pada 22 Juni 1527 berdasarkan pendudukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah, yang kemudian berganti nama menjadi Jayakarta.
Selanjutnya, pemerintahan Jayakarta dipegang oleh Maulana Hasannudin dari Kesultanan Banten.
Selanjutnya, orang Belanda mulai datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16. Pada 1619, kongsi dagang Belanda, atau VOC yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon (JP) Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan dari Kesultanan Banten.
Kemudian, Belanda mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia, yang merupakan nama leluhur bangsa Belanda yaitu Batavieren. Selama masa pemerintahan kolonial Belanda, Batavia berkembang pesat. Rancangan Kota Batavia dibuat oleh Simon Stevin, yang didesain untuk menjadi ibu kota kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai dengan Jepang.
Kala itu, kawasan Kota Tua Jakarta merupakan pusat kota sekaligus pusat pemerintahan. Balai kota Batavia berada di bangunan Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta sekarang ini.
Sementara, bentuk Kota Batavia direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, yakni dilengkapi jalan-jalan lurus dan parit-parit. Sepeninggal JP. Coen pada 1629, perkembangan Kota Batavia semakin pesat.
Dibangun gudang, bengkel kayu dan galangan kapal, Kali Besar yang semula berkelok diubah menjadi lurus, dan sebagainya.
Daerah sekitar Kali Besar dijadikan hunian elit pejabat Belanda. Salah satunya adalah Toko Merah yang hingga kini masih berdiri kokoh. bangunan yang didirikan pada 1700-an ini, dulunya berfungsi sebagai rumah dinas Gubernur Jenderal Belanda.
Sempat berganti fungsi beberapa kali, hingga akhirnya bangunan ini diambil alih warga Tionghoa yang kemudian digunakan sebagai toko, sekitar abad ke-20.
Penyakit Sayangnya, kejayaan Kota Batavia mulai redup saat muncul wabah penyakit, yang sekarang diduga sebagai malaria, disentri, dan kolera sekitar tahun 1732.
Air di kawasan Batavia tercemar sehingga menjadi sumber penyakit bagi masyarakat.
Kondisi tersebut, diperparah dengan serentetan gempa bumi yang mengguncang Batavia. Gempa tersebut mengakibatkan longsoran gunung, yang mengotori sumber air. Tak pelak lagi, Batavia penuh dengan lumpur.
Ironisnya, bencana tersebut tidak ditanggulangi dengan baik oleh pemerintahan kolonial Belanda ketika itu, serta minimnya fasilitas kesehatan.