WARTALIKA.id – Fenomena aksi tawuran dan kekerasan pelajar yang kian marak akhir-akhir ini di sudah bukan sekedar tawuran remaja biasa. Perkelahian beramai-ramai tersebut bukan saja dengan tangan kosong atau mengandalkan kekuatan, melainkan sudah menggunakan senjata tajam (sajam) yang sangat berbahaya dan mengarah ke tindakan kriminal karena menelan korban jiwa.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, kasus kekerasan pelajar yang baru saja terjadi di Cengkareng, Jakarta Barat, tentu sangat mencederai pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen dimulai pada Januari 2022.

“Kita tidak ingin PTM yang baru dimulai ini, tercederai dengan aksi tawuran pelajar dan kekerasan pelajar,” tegas Kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi (Kadiswasmonev) KPAI, Jasra Putra dalam keterangannya kepada WARTALIKA.id, Sabtu (8/1/20222).

Atas kejadian ini tentunya tidak di inginkan bagi para orang tua, dimana ditengah semangat anak-anak mereka kembali sekolah setelah 2 tahun dirumah akibat pandemi Covid-19.

“Kekerasan anak seperti tawuran antar pelajar kerap terjadi usai jam sekolah selesai. Persoalan mengisi waktu luang dan tidak adanya kegiatan yang tersistem dan terstruktur menjadi penyebab utama,” ujar Jasra.

Jasra mengatakan, padahal anak-anak selesai jam belajar di sekolah memiliki kebutuhan menyalurkan energi lebihnya, mereka perlu tempat dalam menyalurkan bakat dan minatnya.

“Tapi banyak juga anak terjebak dalam pergaulan yang diwarnai kekerasan akibat tidak mendapatkan tempat dalam mengisi waktu luang. Sehingga mereka kerap ikut-ikutan,” jelasnya.

Selain itu, Jasra juga meminta pengawasan dari orang tua selepas anak selesai jam belajar di sekolah menjadi sangat penting. Karena kecenderungan terjadinya kekerasan atau tawuran pelajar pasca lepas dari sekolah.

“Apalagi kondisi emosional di masa pandemi berpotensi anak memiliki agresifitas yang tinggi. WHO mengingatkan bahwa varian baru Covid 19 jenis Omicron bukan penyakit ringan,” ucapnya.

Jasra juga menuturkan, tren angka penularan juga meningkat, sudah menyentuh 1000 kasus aktif di Jakarta. Apalagi daya tubuh anak tidak sekuat orang dewasa. Terutama dalam bertindak cepat dengan kondisi sakit. Untuk itu, Jasra pun meminta, anak penting untuk segera mendapatkan vaksin.

“Latar belakang keluarga menjadi persoalan lanjutan bagi para pelajar yang menjadi pelaku kekerasan. Perubahan karakter anak menjadi temperamen di sebabkan kebiasaan melihat penyelesaian masalah dengan kekerasan, sehingga anak menirunya. Karena mereka bukan pendengar yang baik tapi peniru yang ulung,” beber dia.

Kendati demikian, Jasra pun berharap para guru, orang tua, sekolah memampukan pelajar dalam mengendalikan emosi selama PTM 100 persen di masa pandemi, yaitu menaati protokol kesehatan.

Selain itu dapat menciptakan kegiatan yang penuh makna, agar tidak direbut aksi-aksi kekerasan. Terutama mengajak anak-anak menjadi pengurang dampak bencana, bersama prestasi dan kreatifitas mereka.

“Merefleksikan kembali fenomena keterbatasan dan memaknai secara positif keterbatasan selama pandemi menjadi kunci keberhasilan mengurangi emosi negatif yang mudah berkembang saat ini. Karena korbannya bisa siapa saja,” katanya.

Lebih jauh Jasra menilai, kisah pelajar SMP di Cengkareng yang meninggal karena salah sasaran teman pelajar lainnya, tentunya dengan kejadian tersebut tidak perlu terulang kembali.

Kekerasan pelajar tak hanya di Jakarta, begitu juga di Yogyakarta fenomena klitih yang viral. Klitih merupakan aksi kenakalan remaja dengan saling menunjukkan kekuatan diri kepada pelajar lainnya yang membawa kengerian bagi semua.

“Lingkungan adalah keluarga ke tiga anak setelah orang tua dan sekolah. Tanggung jawab lingkungan sangatlah penting, setelah anak lepas dari rumah dan di sekolah,” paparnya.

Berkomentarlah dengan baik dan bijak menggunakan facebook