Wartalika.id – Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia telah ditandatangani Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listiyo Sigit Prabowo, MSI pada tanggal 14 Juni 2022 sebelum HUT Bhayangkara.

Salah satu yang diatur dalam Bab VI KKEP Peninjauan Kembali Pasal 83 ayat 1 dan ayat 2 yang pada intinya merumuskan norma baru yakni:

“Kapolri berwenang melakukan peninjauan yang dapat dilakukan apabila terdapat sesuatu kekeliruan dan/atau ditemukan alat bukti yang baru”, ujar Dr. Alpi Sahari SH. M.Hum Dosen Pascasarjana dan Ketua Prodi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara melalui keterangan tertulisnya kepada awak media Senin (20/06).

Di dalam hukum acara pidana terkait peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan oleh terpidana dengan berbagai alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP dan atau Jaksa selaku penuntut umum.

”SPACEIKLAN”

Di dalam Hukum Acara Pidana menurut hemat saya majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara termasuk Mahkamah Agung tidak memiliki hak untuk melakukan peninjauan kembali, namun dapat melakukan eksaminasi terhadap putusan, sehingga terminologi “peninjauan kembali” dalam peraturan Polri dimaksud dapat berimplikasi kekacauan auran hukum dalam tata tertib dan keteraturannya bukankan Polri di dalam menciptakan Harkamtibmas berpegang teguh pada ketertiban dan keteraturan.

Hukum acara pidana sendiri di dalam merumuskan terminologi “peninjauan kembali” sebagai upaya hukum luar biasa berpegang teguh pada prinsip due process of law sebagai lawan dari arbitary process yaitu suatu proses yang berdasarkan kuasa aparat penegak hukum semata-mata.

Terkait sidang komisi etik terhadap AKBP Brotoseno yang terduga pelanggar dan diputus bersalah dengan sanksi meminta ma’af dan demosi adalah personil Polri, penuntut adalah personil Polri, pembela adalah personil Polri dan Majelis Komisi Etik yang menyidangkan adalah personil Polri sehingga penggunaan terminologi “Peninjauan Kembali” kurang tepat termasuk legal standing Kapolri untuk melakukan peninjauan kembali karena Kapolri bukan pihak yang terlibat dalam sidang komisi etik dimaksud.

Dalam hal Kapolri menilai keputusan Komisi Etik tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat seharusnya Kapolri melakukan eksaminasi terhadap Putusan Komisi Etik apalagi sidang etik berada dalam lingkup internal Kepolisian bukan lingkup peradilan umum. Eksaminasi terfokus pada substansi pertimbangan komisi etik yang memutus terduga pelanggar termasuk putusan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.