Perubahan Permensos Tuai Keprihatinan Pemangku Kepentingan Tingkat Nasional
WARTALIKA.id – Adanya perubahan organisasi dan kebijakan terkait program rehabilitasi oleh Kementerian Sosial (Kemensos) sehingga mengundang keprihatinan multi pemangku kepentingan tingkat nasional. Salah satunya Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Repubik Indonesia (BNN RI), Riza Sarasyita.
Ia mengaku prihatin atas dampak dari perubahan kemensos tersebut, sehingga membuat yayasan rehabilitasi sosial atau Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) sosial menjadi tidak bisa berfungsi secara operasional.
Kemensos telah merubah kebijakan pada sentra layanan rehabilitasi yang bukan hanya untuk penanganan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA), tetapi juga untuk penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).
“Sementara kita tahu bahwa, yang namanya NAPZA, itu agak rentan kalau dijadikan satu dengan PMKS lainya seperti pengemis, lansia dan pekerja seks. Sebetulnya bukan PMKS lainya ya, yang rentan ya. Kawatirnya temen-temen NAPZA ini justru mempengaruhi kelompok rentan lainya. Karena, kan yang namanya pekerja seks, kemudian lansia, itu kan sensitif,” ujar Riza saat menghadiri acara diskusi nasional di Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu 23 Februari 2023.
Dilain sisi, Riza menyebut bahwa dampak lain terjadi lantaran kondisi IPWL Sosial saat ini seperti hidup segan mati tak mau. “Saya melihat terkadang mereka survive dengan skilnya, mencari, bekerjasama dengan penegak hukum, dalam tanda kutip adalah oknum, yang kemudian, katakanlah ada perkara narkoba, yang terkadang ada transaksional dengan jumlah tidak sedikit dari pecandu yang ingin direhab di swasta atau tempat rehabilitasi milik masyarakat. Itu dampaknya, rawanya disitu sebenarnya,” tambahnya.
Di sela acara pertemuan multi pemangku kepentingan tersebut, Riza berharap agar IPWL sosial menentukan standar minimun biaya rehabilitasi.
“Biasanya akan diawasi badan pemeriksa keuangan (BPK). Kemudian ombudsman juga akan mengawasi jelas, karena disini juga hadir ombudsman. Mungkin perlu dikawal itu, standar biaya minimumnya itu. Kan karena akan dihitung bersama-sama gitu loh, makan berapa kali sehari tentunya tidak bolah yang sembarangan, harus ada komponen gizinya sehingga teman-teman yang sedang pemulihan dapat terpenuhi gizinya,” jelasnya.
Sementara Asisten Ombudsman RI, Nugroho Ekomartono mangatakan bahwa dalam penanggulangan masalah narkoba dibutuhkan peran serta para stakholder terkait didalamnya. Selain itu, perlu segera dihidupkan fungsi kontrol dari masyarakat terutama keluarga.
“Supaya ketika ada salah satu anggota keluarganya yang terlibat masalah narkoba agar mendapat informasi sehingga mudah mendapat akses ke arah rehabilitasi,” ujar Nugroho.
Jauh kebelakang, kata dia masyarakat yang ingin mendapat informasi soal lembaga mana yang bisa merehabilitasi sangat sulit.
Selain itu, pasca rehabilitasi juga perlu dikuatkan dan disosialisasikan kembali kepada masyarakat, terutama dilingkup keluarga agar tidak kesulitan mendapatkan informasi mengenai metode rehabilitasi.
Terlepas dari itu Nugroho menyampikan keprihatinan atas pemblokiran penggunaan dana bansos oleh kementerian keuangan (Kemenkeu). Kemensos melalui Menteri Sosial Risma Trismaharini menyampaikan hal tersebut saat rapat di DPR, pekan lalu.
“Sebenarnya kalau kita mau buka mata, Indonesia saat ini berada dalam fase darurat narkoba dan mengancam pengguna narkoba pada usia produktif seperti anak-anak kecil, anak sekolah. Justru sebaliknya dana itu semestinya bisa dialokasikan sesuai tugas dan fungsi kepada lembaga yang diberikan kewenangan,” katanya.
Akibat pemblokiran dana tersebut sehingga akhirnya Kemenkes dan Kemensos mundur, hanya sebatas BNN. “Kalau menurut kami, BNN akan murat marit, akan kesulitan berkerja dalam penanganan darurat narkoba ini sendirian. Akan lebih efektif jika tetap didukung kemenkes, kemensos dan lembaga-lembaga seperti pihak IPWL ini,” sambung Nugroho.