WARTALIKA.id – Di Ujung Perjalanan Santri Tak Menemui Kata Akhir, Boyong(lulus dari pesantren) bukanlah akhir dari sebuah cita-cita, tapi awal dari semua yang dicita-citakan. Dalam banyak peristiwa, kita memang sering kali ragu untuk mencoba dan memulai langkah baru, hal yang sama sekali belum pernah kita lakukan sebelumnya.

Namun, kita harus tetap berjalan demi sebuah eksistensi hidup. Selesai satu langkah yang lalu, melangkah lagi untuk tujuan yang baru. Pada saat kita ragu dan berpikir mungkin atau tidak mungkin di situlah tantangan pertama kita menjalani sebuah proses.

Mondok adalah perjalanan panjang, sangat panjang bagi mereka yang menjalani dan menikmatinya tanpa ketergesaan. Di sana, ujung pena untuk pertama kalinya diraut, tinta berulang kali digoreskan demi sebuah hikmah, arti terpenting dalam hidup.

Mondok bukanlah sekadar perjalanan ilmiah yang ragawi, yang hanya membutuhkan kecerdasan intelektual dan ketelatenan. Mondok sekaligus perjalanan rohani untuk menemukan keberadaan-Nya. “Merasakan” bahwa di seluruh jagat raya ini, Tuhan hadir di mana-mana. Di setiap kali kita mengingat-Nya atau pun melupakan-Nya. Bahwa Tuhan adalah dzat paling dekat yang selalu kita miliki, yang di segala kegersangan hati kita ini, Ia menjadi “barang” yang tertimbun oleh segenap benda fisik materi.

”RonalSihotang”

Usai pengembaraan panjang di pesantren itu, usai kita menemukan apa yang kita cari selama ini, usai kita mengerti dari mana kegelisahan-kegelisahan hidup itu bermula, lulus dari pesantren bukanlah sebuah kata akhir. Karena dalam kata akhir sebuah kebermulaan lahir kembali. Kita akan menghadapi hal baru yang kian berat. Ujian yang telah kita mulai sejak lahir kini menaikkan levelnya.

 

Kita berserah diri pada-Nya untuk ditempatkan di tempat yang dikehendaki-Nya, bukan semena-mena kita tak bisa memilih, namun itulah jalan terbaik untuk berkhidmah pada agama-Nya. Bukan tentang dari mana kita berasal, namun di mana kita berada dan memberikan manfaat pada orang lain.

Mau tak mau, banyak ilmu yang telah dipelajari di pesantren harus kita pilah satu-satu, jangan sekali-kali menuntut jika kita hanya bisa mengajarkan alif-ba-ta, meskipun ilmu kita sekelas profesor.

Masyarakat ibarat lautan yang amat luas, tugas kita di pesantren adalah menyiapkan perahu, bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk: hujan gelombang, ombak besar, karang laut dan badai atau laut tenang yang membosankan.