WARTALIKA.id – Muhamad Rudini dan Mikael Mensen Warga Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, mengirimkan sebuah surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto pada Jumat, 6 Desember 2024.

Dalam surat yang ditulis dengan penuh harapan dan keprihatinan tersebut, mereka memohon keadilan terkait sengketa tanah mereka seluas 11 hektar di kawasan Keranga, Labuan Bajo.

Surat tersebut menggambarkan perjuangan panjang selama lebih dari 10 tahun untuk mempertahankan hak atas tanah leluhur mereka yang kini dihadapkan pada kekuatan besar, termasuk pengusaha ternama dan seorang mantan pejabat di Propinsi NTT.

Berikut kutipan isi surat terbuka tersebut yang salinan diperoleh media ini.

Kepada Yth,
Bapak Presiden Republik Indonesia,
Bapak Prabowo Subianto,
di
Istana Negara, Jakarta

Dengan segala kerendahan hati, kami, rakyat kecil dari Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, mengirimkan surat ini sebagai jeritan hati yang lelah namun tetap berharap.

Kami memohon perlindungan hukum dan keadilan dari Bapak Presiden, pemimpin bangsa yang kami percayai akan mendengarkan suara rakyat kecil yang tertindas.

Selama lebih dari 10 tahun, kami berjuang mempertahankan hak atas tanah leluhur kami seluas 11 hektar di Keranga, Labuan Bajo.

Namun, jalan menuju keadilan begitu sulit. Kami hanyalah rakyat kecil tanpa kekuasaan dan uang, berhadapan dengan mereka yang memiliki kekuatan besar, seperti Santosa Kadiman, pemilik Hotel St. Regis di Labuan Bajo, dan juga Viktor Bungtilu Laiskodat, mantan Gubernur NTT.

Kami telah melapor ke Polres Manggarai Barat, 4 Laporan Polisi terkait pemalsuan tanda tangan dan penipuan sejak tanggal 13 september 2022, namun laporan kami tidak pernah digubris.

Sebaliknya, kami malah dikriminalisasi. Kami bertanya, kemana lagi kami harus meminta keadilan? Hanya kepada Bapak, kami menggantungkan harapan

Kami yakin, melalui tangan Bapak Presiden, keadilan itu akan kembali berpihak pada rakyat kecil.

FAKTA-FAKTA YANG TERJADI:

1. Pemalsuan Dokumen

Pada 11 Maret 2019, tanda tangan almarhum kakek kami, Ibrahim Hanta, dipalsukan dalam sebuah surat hibah. Padahal, kakek kami telah meninggal pada tahun 1986. (Bukti terlampir).

2. Penerbitan Sertifikat Ilegal

Pada 31 Januari 2017, sertifikat-sertifikat tanah di atas tanah kami diterbitkan menggunakan dokumen alas hak palsu yang bertanggal 10 Maret 1990. Dokumen tersebut salah lokasi, salah plotting, cacat administrasi, cacat yuridis, dan bahkan tidak memiliki hak tanah asli. (Bukti terlampir).